“Hanya ada 3 polisi yang tidak bisa disogok: Hoegeng, patung polisi, dan polisi tidur”. Demikian sebuah kutipan yang tercantum di halaman depan buku, Hoegeng -Oase menyejukkan di tengah perilaku koruptif para pemimpin bangsa-. Percaya gak percaya, setelah membaca buku itu sampai habis, akhirnya di pikiran saya tergambarlah sesosok polisi yan baik hati, bersih, dan rasanya sulit dijumpai saat ini… Mungkin polisi itu ada, tapi saya belum mengenalnya…
Pesan moral yang paling melekat bagi saya dari buku Hoegeng itu adalah yang bagian ini:
Menerima pemberian pertama itu seperti menaruh kuman di lengan, lalu terasa sedikit gatal. Kita akan menggaruknya pelan-pelan, wuah, nikmatnya luar biasa. Makin sering dan makin banya yang diterima, “gatal” itu akan semakin intens dan menggaruknya harus semakin keras pula. Pada saat ada kejadian yang menghentikannya (tentu atas kehendak Allah swt), kukuran di lengan itu sudah menjadi luka atau koreng yang perih bahkan mungkin bernanah. Maunya setan begitu. Pada saat itu faktualnya semua orang tahu bahwa tangan Anda adalah terluka korengan karena nikmat dikukur untuk sekian lamanya.
Atas kesadaran adanya luka yang memalukan itu, sebenarnya pasti bisa disembuhkan. Artinya, Anda bisa terbebas sama sekali dari perbuatan korupsi lebih lanjut, kalau jiwa raga Anda secara mendalam mampu bertobat. Namun, perlu Anda catat bahwa korengnya bisa sembuh. Tetapi bekas koreng itu akan menghias di lengan dan tidak akan bisa hilang selamanya. Makanya, hindari koreng semacam itu. Mencegah agar lengan tidak korengan bekas keenakan dikukur adalah cara yang tepat dalam mengukir pengabdian terbaik. Jauhi kuman dan upayakan untuk jangan sampai menempel pada bagian tubuh Anda, yang akan membuat tubuh Anda gatal dan luka korengnya.
Sebenarnya banyak juga cerita lain yang menunjukkan betapa bersihnya Pak Hoegeng, seperti isi rumah yang ditaruh di pinggir jalan karena pemberian cukong, istri yang tidak boleh jualan karena kawatir potensi sogok, serta senjata yang diserahkan ke pemerintah meskipun sebenarnya itu hanyalah hiasan saja. Saya yakin siapapun yang membaca buku itu tidak akan merugi, banyak pesan moral yang bisa didapat, dan mungkin akan berguna dalam menjalani kehidupan di Indonesia yang ganas ini
Pesan moral yang paling melekat bagi saya dari buku Hoegeng itu adalah yang bagian ini:
Menerima pemberian pertama itu seperti menaruh kuman di lengan, lalu terasa sedikit gatal. Kita akan menggaruknya pelan-pelan, wuah, nikmatnya luar biasa. Makin sering dan makin banya yang diterima, “gatal” itu akan semakin intens dan menggaruknya harus semakin keras pula. Pada saat ada kejadian yang menghentikannya (tentu atas kehendak Allah swt), kukuran di lengan itu sudah menjadi luka atau koreng yang perih bahkan mungkin bernanah. Maunya setan begitu. Pada saat itu faktualnya semua orang tahu bahwa tangan Anda adalah terluka korengan karena nikmat dikukur untuk sekian lamanya.
Atas kesadaran adanya luka yang memalukan itu, sebenarnya pasti bisa disembuhkan. Artinya, Anda bisa terbebas sama sekali dari perbuatan korupsi lebih lanjut, kalau jiwa raga Anda secara mendalam mampu bertobat. Namun, perlu Anda catat bahwa korengnya bisa sembuh. Tetapi bekas koreng itu akan menghias di lengan dan tidak akan bisa hilang selamanya. Makanya, hindari koreng semacam itu. Mencegah agar lengan tidak korengan bekas keenakan dikukur adalah cara yang tepat dalam mengukir pengabdian terbaik. Jauhi kuman dan upayakan untuk jangan sampai menempel pada bagian tubuh Anda, yang akan membuat tubuh Anda gatal dan luka korengnya.
Sebenarnya banyak juga cerita lain yang menunjukkan betapa bersihnya Pak Hoegeng, seperti isi rumah yang ditaruh di pinggir jalan karena pemberian cukong, istri yang tidak boleh jualan karena kawatir potensi sogok, serta senjata yang diserahkan ke pemerintah meskipun sebenarnya itu hanyalah hiasan saja. Saya yakin siapapun yang membaca buku itu tidak akan merugi, banyak pesan moral yang bisa didapat, dan mungkin akan berguna dalam menjalani kehidupan di Indonesia yang ganas ini