Secuil kenangan bersamamu Guru masih begitu membekas di hati , tapi kini engkau telah pergi …
Abdurrahman Wahid alias Gus Dur lahir pada 4 Agustus 1940 di Jombang, Jawa Timur. Terlahir dengan nama Abdurrahman ad Dakhil, ia merupakan sulung dari enam bersaudara. Kakeknya adalah Kiai Haji Hasyim Asy`ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), salah satu organisasi Islam independen terbesar di dunia. Ayahnya, Wahid Hasyim, ditunjuk sebagai orang Indonesia pertama yang menjabat sebagai Menteri Agama.
Wahid mulai mengenyam pendidikan di Jakarta sejak 1949. Pada 1957, ia lulus dari sekolah menengah pertama. Ia melanjutkan ke sekolah Islam di Magelang selama dua tahun. Setelah itu, ia kembali ke kota asalnya untuk melanjutkan pendidikan. Pekerjaan pertamanya adalah guru dan kemudian kepala sekolah dari sekolah Islam. Ia juga sempat menjadi jurnalis untuk sebuah majalah.
Ketika bekerja di Kedutaan Besar Republik Indonesia pada 1963, Wahid menerima beasiswa dari Departemen Agama untuk belajar di Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir. Ia meninggalkan Mesir pada November 1963 dan mendapatkan beasiswa lagi di Universitas Baghdad pada 1970. Setelah itu, Wahid mengunjungi Belanda, Jerman, dan Prancis sebelum kembali ke Indonesia pada 1971.
Ketika kembali ke Jakarta, Wahid bergabung dengan Lembaga Penelitian Ekonomi dan Sosial, Pendidikan dan Informasi, sebuah organisasi yang terdiri dari kaum intelektual muslim progresif dan sosial demokrat. Ia melanjutkan karier sebagai wartawan Majalah Tempo dan Koran Kompas, membangun reputasi sebagai komentator sosial. Pada tahun 1974, Wahid menjadi seorang guru Islam di sebuah sekolah Islam di Jombang. Pada tahun 1977, ia bergabung dengan Universitas Hasyim Asyari sebagai dekan Fakultas Praktik dan Kepercayaan Islam.
Pengalaman politik pertama Wahid dimulai pada 1982. Ketika itu, dia berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dalam Pemilihan Umum 1982. PPP adalah partai Islam yang dibentuk sebagai hasil gabungan dari empat partai Islam termasuk NU. Pada 1984, Wahid terpilih sebagai ketua baru di NU. Dia terpilih kembali untuk masa jabatan kedua dan masa jabatan ketiga sebagai Ketua NU pada Kongres Nasional 1989 dan 1994.
Pada 1998, Wahid menyetujui pembentukan Partai Kebangkitan Bangsa dan menjadi ketua dewan penasihat, dengan Matori Abdul Djalil sebagai ketua partai. Ia mempromosikan PKB sebagai partai yang tidak beraliran dan terbuka untuk semua anggota masyarakat. Pada 7 Februari 1999, PKB secara resmi mendeklarasikan Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden pada Pemilu 1999.
PKB memasuki Pemilu 1999 dan memenangkan 12 persen dari suara. Pada Juli 1999, Poros Tengah, sebuah koalisi dari partai-partai Islam dibentuk. Gus Dur kemudian secara resmi dicalonkan sebagai calon presiden pada Oktober tahun yang sama. Pada bulan yang sama, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menyelenggarakan pemilihan presiden baru. Wahid kemudian terpilih sebagai presiden keempat RI dengan perolehan 373 suara.
Wahid mendirikan kabinet pertamanya sebagai sebuah koalisi yang terdiri dari anggota berbagai partai politik pada 1999. Dia juga membuat dua reformasi administrasi, dengan menghapuskan Departemen Informasi dan membubarkan Departemen Kesejahteraan [baca: Bapak Bangsa Itu Berani Ambil Terobosan].
Pada Maret 2000, pemerintahan Wahid mulai membuka perundingan dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pada Mei 2000, kedua belah pihak menandatangani kesepakatan untuk terakhir kalinya pada awal 2001, saat kedua penandatangan telah melanggar perjanjian.
Pada Januari 2001, Gus Dur membuat pengumuman bahwa Tahun Baru Cina menjadi libur nasional. Namun, jabatan Gus Dur sebagai presiden harus berakhir. Pada 23 Juli 2001, MPR memutuskan mencopot Wahid dan menggantinya dengan Megawati Sukarnoputri yang tak lain wakilnya
Terasa masih hangat sampai kini kala ku cium tanganmu saat keluar dari mercedes benz yang kau tumpangi , dan kau suruh aku menunggu di mobil dan aku tak membantah apapun yang kau suruh …Dari Guru Jurnalis hingga Presiden RI 4
Waktu menunjukkan jam 12 malam, tak lama beberapa petinggi militer dengan sigap juga keluar di sertai beberapa rekan media yang mungkin menurutku itu dari Jawa Pos, entah apa yang mereka bicarakan dari dalam kamar, aku rasa kok sangat penting sekali ? hingga waktu menunjukkan jam 3 pagi barulah mereka keluar, entah pertemuan apa itu … yang terjadi di pingiran kota surabaya yang sumpek dan terkesan rahasia.
Namun aku hanya seorang ‘ khodam ‘ bahasa kerennya ajudan Sang Kiyai … aku hanya bisa nedho nerimo ngalap barokah Kiyai.
Dan engkau teruskan perjuangan mu mengikuti keyakinan. Setelah aku keluar dari dunia pesantren kulanjutkan hidup ku sebagai orang biasa, bukannya jadi pemuka agama malah jadi blogger … ya itulah perjalanan hidup.
Selamat tinggal Guru …. Selamat jalan Kiyai … Diriku masih tak percaya dengan kepergianmu …
Abdurrahman Wahid alias Gus Dur lahir pada 4 Agustus 1940 di Jombang, Jawa Timur. Terlahir dengan nama Abdurrahman ad Dakhil, ia merupakan sulung dari enam bersaudara. Kakeknya adalah Kiai Haji Hasyim Asy`ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), salah satu organisasi Islam independen terbesar di dunia. Ayahnya, Wahid Hasyim, ditunjuk sebagai orang Indonesia pertama yang menjabat sebagai Menteri Agama.
Wahid mulai mengenyam pendidikan di Jakarta sejak 1949. Pada 1957, ia lulus dari sekolah menengah pertama. Ia melanjutkan ke sekolah Islam di Magelang selama dua tahun. Setelah itu, ia kembali ke kota asalnya untuk melanjutkan pendidikan. Pekerjaan pertamanya adalah guru dan kemudian kepala sekolah dari sekolah Islam. Ia juga sempat menjadi jurnalis untuk sebuah majalah.
Ketika bekerja di Kedutaan Besar Republik Indonesia pada 1963, Wahid menerima beasiswa dari Departemen Agama untuk belajar di Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir. Ia meninggalkan Mesir pada November 1963 dan mendapatkan beasiswa lagi di Universitas Baghdad pada 1970. Setelah itu, Wahid mengunjungi Belanda, Jerman, dan Prancis sebelum kembali ke Indonesia pada 1971.
Ketika kembali ke Jakarta, Wahid bergabung dengan Lembaga Penelitian Ekonomi dan Sosial, Pendidikan dan Informasi, sebuah organisasi yang terdiri dari kaum intelektual muslim progresif dan sosial demokrat. Ia melanjutkan karier sebagai wartawan Majalah Tempo dan Koran Kompas, membangun reputasi sebagai komentator sosial. Pada tahun 1974, Wahid menjadi seorang guru Islam di sebuah sekolah Islam di Jombang. Pada tahun 1977, ia bergabung dengan Universitas Hasyim Asyari sebagai dekan Fakultas Praktik dan Kepercayaan Islam.
Pengalaman politik pertama Wahid dimulai pada 1982. Ketika itu, dia berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dalam Pemilihan Umum 1982. PPP adalah partai Islam yang dibentuk sebagai hasil gabungan dari empat partai Islam termasuk NU. Pada 1984, Wahid terpilih sebagai ketua baru di NU. Dia terpilih kembali untuk masa jabatan kedua dan masa jabatan ketiga sebagai Ketua NU pada Kongres Nasional 1989 dan 1994.
Pada 1998, Wahid menyetujui pembentukan Partai Kebangkitan Bangsa dan menjadi ketua dewan penasihat, dengan Matori Abdul Djalil sebagai ketua partai. Ia mempromosikan PKB sebagai partai yang tidak beraliran dan terbuka untuk semua anggota masyarakat. Pada 7 Februari 1999, PKB secara resmi mendeklarasikan Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden pada Pemilu 1999.
PKB memasuki Pemilu 1999 dan memenangkan 12 persen dari suara. Pada Juli 1999, Poros Tengah, sebuah koalisi dari partai-partai Islam dibentuk. Gus Dur kemudian secara resmi dicalonkan sebagai calon presiden pada Oktober tahun yang sama. Pada bulan yang sama, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menyelenggarakan pemilihan presiden baru. Wahid kemudian terpilih sebagai presiden keempat RI dengan perolehan 373 suara.
Wahid mendirikan kabinet pertamanya sebagai sebuah koalisi yang terdiri dari anggota berbagai partai politik pada 1999. Dia juga membuat dua reformasi administrasi, dengan menghapuskan Departemen Informasi dan membubarkan Departemen Kesejahteraan [baca: Bapak Bangsa Itu Berani Ambil Terobosan].
Pada Maret 2000, pemerintahan Wahid mulai membuka perundingan dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pada Mei 2000, kedua belah pihak menandatangani kesepakatan untuk terakhir kalinya pada awal 2001, saat kedua penandatangan telah melanggar perjanjian.
Pada Januari 2001, Gus Dur membuat pengumuman bahwa Tahun Baru Cina menjadi libur nasional. Namun, jabatan Gus Dur sebagai presiden harus berakhir. Pada 23 Juli 2001, MPR memutuskan mencopot Wahid dan menggantinya dengan Megawati Sukarnoputri yang tak lain wakilnya