Di milis dosen ITS pernah ada diskusi yang menarik tentang menjadi Profesor. Dikatakan, mari cepetan jadi Profesor supaya bisa mendapat banyak hak istimewa. Meskipun harus disadari pula di balik keistimewaan yang dimiliki, ada kewajiban yang tidak kalah besarnya.
Ada pula yang mengatakan: Profesor bukanlah tujuan akhir, namun merupakan gerbang awal untuk berprestasi lebih baik dan lebih banyak. Jadi jangan karena sudah Profesor maka berhenti berkarya dan males riset. Justru dengan ke-profesor-an nya itu, maka semakin besar karya yang dihasilkan. Sama persis seperti sebutan bagi Profesor, Guru Besar, besar dalam sumbangsihnya.
Perihal sumbangsih itu, dulu pernah aku pertanyakan dalam sebuah postingan,apa untungnya prof berkarya Di postingan itu, aku bertanya-tanya, apa dampak positif yang dirasakan oleh mahasiswa jika jumlah dosennya yang jadi Profesor bertambah??? Sampai saat ini jawaban yang memuaskan belum juga kutemukan.
Namun dalam 2 tahun ini sedikit banyak aku mengamati, gimana susahnya Profesor untuk berkarya, jika tidak didukung oleh mahasiswa yang berdaya juang tinggi. Mahasiswa itu tidak cukup yang tingkat sarjana saja, namun harus lebih banyak yang tingkat pasca sarjana. Karena merekalah tulang punggung riset, yang pontang-panting mewujudkan ide menjadi hasil yang orisinil.
Bagi ITS sendiri jumlah mahasiswa pasca sarjana nya masih 10% dari total mahasiswa. Sebagai perguruan tinggi teknologi nomer 2 di Indonesia, angka itu jelas masih kurang. Idealnya adalah 40%. Bahkan PT ternama semacam TIT dan MIT rasio mahasiswa pasca sudah 50% lebih dari total mahasiswanya. Pantas saja jika kemudian hasil riset mereka begitu banyak dan muanteb-muanteb. Saya kira tidak ada Profesor yang dipertanyakan karyanya di sana.
Jumlah mahasiswa S3 yang minim itu bukanlah satu-satunya penyebab susahnya Profesor dalam berkarnya. Fasilitas laboratorium yang tidak memadai, dana riset yang minim, dan daya juang Profesor sendiri yang kurang, ditengarai menjadi hambatan-hambatan utama dalam mewujudkan karya-karya termuanteb sesuai keahlian Profesor.
Semua itu membuat saya mulai bisa maklum jika ada Profesor di Indonesia yang tidak berkarya apapun. Kerjanya cuma ngajar aja atau disibukkan dengan kegiatan administrasi. Kegiatan risetnya NOL besar. Dulu saya mengkritik mereka, sekarang masih tetap tapi bisa maklum. Keadaan di Indonesia yang serba susah ini masih bisa dijadikan alasan.
Yang belum bisa dan gak akan pernah bisa dimaklumi adalah Profesor yang suka berlagak. Sudah gak bisa berkarya apapun, sombongnya bukan maen. Minta dihormati terus, kalo gak dipanggil Prof gak noleh. Seakan-akan Profesor itu adalah raja dan yang lain tidak lebih dari kacung-kacung. Kayak dia sendiri yang paling pinter, yang lain itu gak ngerti apa-apa. Ingat Prof, tak ada gading yang tak retak. Kalo Prof gak liat retakannya, sini biar aku banting sekalian!
Ada pula yang mengatakan: Profesor bukanlah tujuan akhir, namun merupakan gerbang awal untuk berprestasi lebih baik dan lebih banyak. Jadi jangan karena sudah Profesor maka berhenti berkarya dan males riset. Justru dengan ke-profesor-an nya itu, maka semakin besar karya yang dihasilkan. Sama persis seperti sebutan bagi Profesor, Guru Besar, besar dalam sumbangsihnya.
Perihal sumbangsih itu, dulu pernah aku pertanyakan dalam sebuah postingan,apa untungnya prof berkarya Di postingan itu, aku bertanya-tanya, apa dampak positif yang dirasakan oleh mahasiswa jika jumlah dosennya yang jadi Profesor bertambah??? Sampai saat ini jawaban yang memuaskan belum juga kutemukan.
Namun dalam 2 tahun ini sedikit banyak aku mengamati, gimana susahnya Profesor untuk berkarya, jika tidak didukung oleh mahasiswa yang berdaya juang tinggi. Mahasiswa itu tidak cukup yang tingkat sarjana saja, namun harus lebih banyak yang tingkat pasca sarjana. Karena merekalah tulang punggung riset, yang pontang-panting mewujudkan ide menjadi hasil yang orisinil.
Bagi ITS sendiri jumlah mahasiswa pasca sarjana nya masih 10% dari total mahasiswa. Sebagai perguruan tinggi teknologi nomer 2 di Indonesia, angka itu jelas masih kurang. Idealnya adalah 40%. Bahkan PT ternama semacam TIT dan MIT rasio mahasiswa pasca sudah 50% lebih dari total mahasiswanya. Pantas saja jika kemudian hasil riset mereka begitu banyak dan muanteb-muanteb. Saya kira tidak ada Profesor yang dipertanyakan karyanya di sana.
Jumlah mahasiswa S3 yang minim itu bukanlah satu-satunya penyebab susahnya Profesor dalam berkarnya. Fasilitas laboratorium yang tidak memadai, dana riset yang minim, dan daya juang Profesor sendiri yang kurang, ditengarai menjadi hambatan-hambatan utama dalam mewujudkan karya-karya termuanteb sesuai keahlian Profesor.
Semua itu membuat saya mulai bisa maklum jika ada Profesor di Indonesia yang tidak berkarya apapun. Kerjanya cuma ngajar aja atau disibukkan dengan kegiatan administrasi. Kegiatan risetnya NOL besar. Dulu saya mengkritik mereka, sekarang masih tetap tapi bisa maklum. Keadaan di Indonesia yang serba susah ini masih bisa dijadikan alasan.
Yang belum bisa dan gak akan pernah bisa dimaklumi adalah Profesor yang suka berlagak. Sudah gak bisa berkarya apapun, sombongnya bukan maen. Minta dihormati terus, kalo gak dipanggil Prof gak noleh. Seakan-akan Profesor itu adalah raja dan yang lain tidak lebih dari kacung-kacung. Kayak dia sendiri yang paling pinter, yang lain itu gak ngerti apa-apa. Ingat Prof, tak ada gading yang tak retak. Kalo Prof gak liat retakannya, sini biar aku banting sekalian!